Monthly Archives: November 2009

The Erased Time – Pameran FX Harsono

FXH1

FX Harsono berpameran di Galeri Nasional hingga 14 November 2009

“Begitu menjelang magrib pukul enam, banyak sekali anak-anak dari kampung agak jauh, mereka pergi ke mesjid lewat kampung sini. Kalau kami masih duduk-duduk di situ, selalu dikata-katain, ‘Cina, Cina, Cina…. ayo pulang….’ Kadang-kadang dilempar batu kecil. Sehingga kami selalu merasa bahwa pukul enam sore itu sudah harus masuk rumah…” (lihat kata pengantar Hendro Wiyanto, dalam The Erased Time, hal 8).

Di keluarganya, anak yang sering diledek dan ditimpuki itu biasa dipanggil “Ong” – lengkapnya Oh Hong Boen, anak dari Oh Hok Tjoe. Karena peraturan pemerintah Republik ini, keduanya dipaksa ganti nama yang “lebih pribumi” – sang ayah jadi Hendro Subagyo, dan si anak jadi FX Harsono. Si Ayah juru foto di Blitar, memiliki sebuah studio foto “Atom” sekitar tahun 50an hingga 60an. Harsono kecil ingat ayahnya punya satu album foto berisi foto-foto dokumentasi penggalian kembali tulang belulang sebuah kuburan massal. Harsono kecil tak

FXKurnia

Penelitian sebelum berkarya (Foto: Kurnia Setiawan)

pernah diberi tahu apa konteks foto-foto dokumentasi tersebut. Saat besar Harsono baru tahu, tulang belulang dalam album foto itu terkait dengan pembunuhan massal sekitar tahun 47-48. Saat itu terjadi politik bumi-hangus oleh pihak Republik, menghadapi agresi militer Belanda. Harsono membaca dalam buku Benny G. Setiono (2008), bahwa politik bumi hangus pihak Republik berakibat terjadinya penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap orang Tionghoa di sekitar Jawa Timur. (Wiyanto, hal. 12).

FXH2FXH2a

Setengah abad kemudian Harsono menelusuri kembali tempat tempat tulang-belulang dalam album foto ayahnya itu digali. Harsono meneliti, mewawancara dan merekam lokasi dan saksi mata, maupun korban yang selamat dari peristiwa pembantaian massal terhadap orang Tionghoa tahun 47-48 tersebut. Terdapat 191 nama yang jadi korban pembantaian massal, yang tulang tengkoraknya dimakamkan kembali di sebuah daerah di Blitar.

Pameran The Erased Time ini berlangsung di Galeri Nasional, jalan Medan Merdeka Timur no.14 Jakarta hingga tanggal 14 November 2009. Sebagian dari karya-karyanya ini kemungkinan akan dipamerkan di Singapura. Harsono dalam pameran ini memanfaatkan secara optimal foto-foto karya ayahnya dalam berbagai bentuk. Mulai dari lukisan (cat akrilik dan cat minyak di atas kanvas), neon box, instalasi, maupun seni video, dan video dokumenter.

FXH3

Memelihara Hidup, Menghentikan Hidup # 2 (Foto Katalog Pameran)

Dua karya di atas kanvas (200Cm X 350Cm – dua panel) menampilkan foto tua pernikahan ayah-ibu Harsono, disandingkan dengan foto penggalian tulang-belulang. Keduanya berjudul “Memelihara Hidup, Menghentikan Hidup #1” dan “Memelihara Hidup, Menghentikan Hidup #2”. Ditengah tengahnya ditulis dengan huruf merah: “Perkawinan meneruskan kehidupan/ kematian menghentikannya/ perkawinan bisa direncanakan/ tapi kematian tak seorangpun bisa menduga/ Blitar 1948”. Pada kanvas lain tertulis: “Perkawinan dibina dan membuahkan kehidupan dan terus berkembang/ Manusia tak seharusnya menghentikan kehidupannya sendiri atau orang lain/ Blitar, 1951”

FXKurnia2

Darkroom (foto: Kurnia Setiawan)


FXKurnia3

Darkroom (foto: Kurnia Setiawan)

Lukisan ini secara kreatif mengaitkan dua gambar dengan konteks berbeda menjadi sebuah kontradiksi yang dipertajam dengan kekuatan verbal. Hasilnya mengingatkan kita bahwa Harsono memang akrab dengan dunia grafis dan periklanan, sebuah karya seni rupa yang menggugah dan sangat komunikatif. Nampaknya tak ada hal baru secara visual yang diciptakan oleh Harsono, seakan karya karya yang diciptakan Harsono hanya bersifat “ilustratif” belaka – meminjam pendapat seorang kawan. Namun sesungguhnya penggabungan dua tanda tersebut – foto pernikahan dan foto pembongkaran makam – mampu memberi konteks baru – yang dipertajam dan ditekankan pada teks verbal yang digunakannya. Kuatnya teks teks visual yang dirangkai oleh Harsono dalam pameran ini tampaknya merupakan buah dari penelitian Harsono yang cukup mendalam mengenai kasus pembunuhan massal ini. Terlebih kedekatan Harsono dengan data data foto karya ayahnya itu.

Lebih lanjut, secara keseluruhan pameran ini cukup berhasil mengangkat dan menggugah perhatian dan ingatan orang akan adanya sepenggal waktu yang dihapus – atau setidaknya sengaja tidak diungkapkan kembali. Sepenggal waktu berisi kekerasan rasis yang mencoreng perjuangan kemerdekaan negeri ini.

Teks: Arief Adityawan S.
Foto: FX Harsono (katalog), Kurnia Setiawan

Sebuah Metafor: Cicak dan Buaya

Cicak022

Akhirnya Selasa menjelang tengah malam, dua pimpinan Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah mendapat penangguhan penahanannya. Hal ini merupakan sebuah angin segar bagi upaya masyarakat sipil dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Penangguhan penahanan ini tidak bisa dilepaskan dari aksi unjuk rasa pada Senin 2 November 2009 di Bundaran Tugu Selamat Datang Jakarta hingga ke depan Istana Negara. Warga masyarakat turun ke jalan dibawah terik matahari menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Hal ini disebabkan sikap arogansi lembaga kepolisian yang dianggap publik bersikap tidak adil karena memiliki conflict of interest.

Cicak9a

Spanduk unjuk rasa yang menggunakan metafor Cicak-Buaya

Cicak1

Media unjuk rasa menggunakan teknik manual namun efektif

Warga pengunjuk rasa terdiri dari berbagai kalangan, sebagian besar adalah mahasiswa dan aktivis HAM dan anti-korupsi, sebagian lagi pekerja kantor, dan lain sebagainya. Mereka mengenakan ikat kepala bertuliskan slogan dengan semangat melawan korupsi. Sebagian mengenakan t-shirt bertuliskan “Menuntut Keadilan”. Sebagian lagi membawa kertas karton yang dengan tulisan tangan mengekspresikan kegeraman melawan buaya korup.

Istilah cicak dan buaya pertama kali diangkat oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ungkapan ini tercetus olehnya sebagai bentuk kegusaran Susno setelah mengetahui bahwa KPK menyadap pembicaraan telpon dirinya. Setelah pernyataan itu muncul di media massa, maka para aktivis anti-korupsi memanfaatkan istilah cicak menjadi sebuah kependekan dari “Cinta Indonesia Cinta KPK”. Para aktivis itu memanfaatkan posisi sebagai pihak lemah yang tertindas oleh kekuatan besar yang arogan dan otoriter. Secara visual pun simbol cicak dan buaya sangat mudah untuk menggugah dan menumbuhkan empati untuk mendukung sosok yang ‘dilemahkan’ dan tertekan. Logo gerakan Cicak pun dibuat dengan sederhana namun ternyata cukup ampuh untuk mewakili semangat solidaritas mendukung KPK.

Cicak9

Desain yang kuat dan komunikatif pada t-shirt dan spanduk

Istilah yang digunakan Susno menempatkan lembaga kepolisian sebagai sebuah lembaga besar dan kuat, yang diwakilkan dengan sosok buaya. Sementara untuk perumpamaan KPK, yang dianggap lembaga kecil dan lemah, digunakanlah sosok cicak. Dalam ilmu bahasa istilah Cicak dan Buaya adalah sebuah metafora. Kata “metafora” berasal dari bahasa Yunani yang artinya “mentranfer” atau “membawa dari satu tempat ke tempat lain”. Metafora adalah sebuah upaya imajinatif untuk menciptakan hubungan antara dua hal yang berbeda, namun memiliki sebuah kesamaan. Secara fisik-anatomis, cicak dan buaya memang memiliki kesamaan, sebagaimana lembaga kepolisian dan KPK, keduanya adalah lembaga penegak hukum.

Cicak8

dua spanduk dijital yang dirancang dengan baik

Menggunakan cicak dan buaya sebagai metafora pembeda kekuatan memang sangat tepat. Namun Susno tampaknya tidak mampu memahami konten moral dari perumpamaan buaya, sebagai binatang buas yang mematikan, selain pemalas, pemakan segala, memangsa dengan cara mengendap-endap. Lebih jauh Susno tampaknya lupa dengan istilah buaya yang sering dipadankan dengan kata “darat” pada idiom “Buaya darat”. Menggunakan pendekatan Barthes, selain makna mitos di atas, sosok buaya sebagai sebuah penanda, memiliki makna ideologis yang negatif, sebagai sebuah sifat manipulatif. Atau jangan-jangan penggunaan metafor buaya, merupakan refleksi bawah-sadar dirinya yang merasa bahwa kepolisian memang memiliki kemiripan dengan sifat-sifat buaya? Tentu hanya Susno Duadji lah – sebagai pencipta, yang tahu.

Teks dan Foto: Arief Adityawan S.