Kini tidak hanya orang yang sedang berebut kursi legislatif saja yang gemar tampil dalam poster, spanduk, atau baliho. Walikota, Gubernur, dan pejabat-pejabat tinggi yang sudah mendapat kursi pun tetap gemar menampilkan diri melalui berbagai media desain grafis. Tujuannya adalah memasyarakatkan program kerjanya. Namun banyak orang menduga, teknik demikian dilatarbelakangi oleh tujuan lain yang lebih bersifat politis, demi masa jabatan berikutnya atau demi jabatan lain yang lebih tinggi. Itulah lika-liku dunia politk yang sulit dimengerti.
Walikota Depok Nurmahmudi Ismail sangat gemar tampil di berbagai pelosok kota Depok. Terakhir sang Walikota menampilkan dirinya dalam sebuah baliho dengan pesan mengajak warga kota Depok untuk makan dan minum dengan tangan kanan. Hal ini menurut baliho tersebut, untuk mengembalikan jatidiri bangsa. Dalam desain baliho itu ditampilkan wajah berbagai pejabat dan tokoh sedang makan dengan tangan kanan. Secara keseluruhan isi pesan dari baliho ini – maupun bagaimana cara penyampaian pesannya – sangat menyedihkan. Pertama, apa kaitan jati diri bangsa dengan tangan sebelah mana yang kita gunakan untuk makan. Kedua, menggunakan tokoh/pejabat yang tidak pernah kita kenal sebagai role model, tidak akan mampu menggugah warga. Tidakkah ada program lain yang lebih penting untuk dijadikan program kerja pak Walikota – misalnya saja bagaimana menata sistem lalu lintas kota Depok? Sebuah desain yang baik pun tidak akan mampu menolong isu yang lemah, apalagi bila desainnya pun lemah.
Ajakan sang Walikota menjadi makin tak relevan ketika kini makin banyak penelitian Psikologi yang mengungkapkan bahwa otak belahan kanan yang mengendalikan tangan kiri akan makin ampuh dalam berpikir kreatif, bila tangan kiri seseorang sama aktifnya dengan tangan kanannya. Pola berpikir yang ideal, dimana kemampuan kreatif dan kemampuan rasional pada diri seseorang bekerja sama baiknya, akan didapat bila otak kanan dan otak kiri bekerja imbang. Artinya, kita perlu menimbang kembali sikap fobia terhadap tangan kiri secara berlebihan. Pertanyaan lebih jauh, masih perlukah budaya yang mengagungkan “kanan = baik”, dan “kiri = buruk” dipertahankan berlebihan? Kecuali tentu saja untuk adab bersalaman, yang kini merupakan kode sosial yang nyaris universal.
Pertanyaan umum yang muncul – terkait dengan munculnya wajah pemimpin di media – adalah: siapakah yang punya inisiatif untuk menampilkan wajah sang pemimpin dalam komunikasi politik demikian? sang pemimpin, ataukah pejabat-pejabat bawahan yang berupaya menyenangkan atasan? Pertanyaan sama muncul dalam kasus propaganda Soeharto di masa Orde Baru. Tampaknya inilah ciri khas bekerjanya mesin propaganda. Mesin propaganda sebagai sebuah sistem merupakan hasil kerja berbagai komponen yang saling mendukung – tanpa dapat dibedakan lagi siapakah aktor penggerak sesungguhnya. Mesin propaganda Walikota Depok mereproduksi mitos feodalisme – yang tersimpan rapi dibalik rangkaian tanda visual. Mungkinkah mesin propaganda ini menyimpan “ideologi kanan” yang menjadi latar belakang politik sang Walikota?