Malam hari, di awal bulan Maret – mereka bergerak di ruang-ruang publik ibu kota mengendarai sepeda-motor. Diam-diam mereka melakukan ‘aksi pemboman’ di berbagai sudut kota Jakarta. Untungnya kelompok perupa itu melakukan aksi-nya tidak menggunakan bom sungguhan. Mereka menggunakan karya seni rupa, mulai dari mural, poster, sticker, stencil dan cat semprot, dan sebagainya. ‘nge-bom’ adalah istilah di antara para perupa-perupa tersebut, untuk menyebut kegiatan berkarya di ruang publik.
Beberapa perupa muda menggunakan cat tembok, langsung menggambari dinding. Beberapa lagi menempeli poster. Beberapa lagi, membantu seorang perupa menempel kertas HVS 100 gram yang telah digambar-tulisi. Pertama lem kanji diratakan ke bagian belakang kertas menggunakan rol. Setelah kertas ditempel ke dinding, permukaan gambar dilapisi pula oleh lem kanji itu sebagai pelapis yang melindungi gambar dari hujan. Robowobo demikian ‘nama jalanan’ salah satu perupa itu, menyebut teknik tersebut wheatpaste (baca: “Obrolan Ringan dengan Robowobo”). Mereka adalah para perupa-aktivis yang tergabung dalam beberapa komunitas seni rupa, diantaranya adalah komunitas Atap Alis, Propagraphic, Sakit Kuning, Semur-Jengkol. Kelompok-kelompok perupa ini terkenal aktif berkarya di ruang-ruang publik menggunakan berbagai media komunikasi luar-ruang. Karya-karya yang mereka tempelkan, semua memiliki tema yang sama: Memprotes pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung.
Pesan dari kampanye ini sederhana saja: Pelarangan buku yang semena-mena oleh aparat negara merupakan sebuah kemunduran peradaban di jaman reformasi. Masyarakat sipil di negeri ini harus aktif untuk terlibat mengendalikan negara secara kolektif, agar negara tak menjadi berkuasa berlebihan – mengkooptasi warga.
Aktivitas berkarya dari para perupa-aktivis tersebut di atas adalah bagian dari tahap Pra-kondisional dalam program kampanye bertajuk : “Pelarangan Buku – menutup jendela dunia” – dimana pameran merupakan salah satu medium, sekaligus event pertanggungjawaban kepada publik. Pameran tersebut telah berlangsung di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 14 – 17 Maret baru lalu. Dari Jakarta, pameran rencananya akan dilanjutkan ke Yogyakarta dan Surabaya. Tidak tertutup pula dilanjutkan di berbagai daerah dan kota lain, apabila ada permintaan.
Pameran ini hanya salah-satu medium dalam kampanye sosial melawan pelarangan buku. Sesungguhnya pameran dapat dibilang sebagai media komunikasi yang spesifik; target audience sangat terbatas, karena hanya kalangan tertentu yang mengunjungi galeri-galeri khusus seperti di Taman Ismail Marzuki. Kecuali berpameran di ruang-ruang yang lebih terbuka seperti mal, stasiun, atau perpustakaan umum. Oleh sebab itu untuk membangun opini publik, penyebaran media dan pelibatan berbagai komunitas lintas-disiplin, serta tiap individu yang peduli pada hak warga untuk mengelola informasi, adalah sebuah keniscayaan. Tidak saja melalui jejaring sosial di dunia maya, atau mural-mural di dinding kota, namun juga berbagai media cetak dan elektronik.
Langkah berikutnya adalah melibatkan para pemilik media pers untuk mau sumbangkan slot 15 detik atau satu halaman majalah atau surat kabarnya, demi kebebasan berpendapat serta hak mengelola informasi tanpa tekanan kekuasaan. Hal ini harus terus dilakukan untuk mengawal proses persidangan di Mahkamah Konstitusi, hingga wewenang Kejaksaan Agung melarang buku dapat dihapuskan.
BEBERAPA MEDIA UNTUK KAMPANYE “MELAWAN PELARANGAN BUKU”
Poster “Membumihanguskan Buku”, karya Arip Hidayat
Poster, “Konstitusi Dilanggar”, karya Yayak Yatmaka
Poster, “Bebaskan Buku”, karya Eka Sofyan Riza
Poster, “Stop Pelarangan Buku”, karya Yayak Yatmaka
Iklan Cetak, “Bebaskan Buku”, karya Agus Danarto
Poster, “Kemunduran Peradaban Manusia”, karya Yayak Yatmaka
alah elek2 gambare !!!
Hebat sekali!
Terima Kasih kawan!Saya sudah melihat situs anda yang hebat juga!